Rabu, 16 Juni 2010

Awam berbicara

Banyak sudah perdebatan disampaikan dan kita saksikan juga dengar di berbagai kesempatan ( kadang juga tanpa sengaja ). Bukan hanya hal-hal yang menyangkut kepentingan khalayak ramai, tapi juga dalam hidup bermasyarakat, bahkan dalam keluarga sekalipun. Mungkin secara substansi akan berbeda - beda, tapi itulah yang bisa kita sebut sebagai adanya perbedaan.

Berbagai peristiwa dan kejadian juga disaksikan terjadi diberbagai penjuru dunia, begitu cepatnya informasi disampaikan oleh banyak media massa. Informasi yang bisa membawa pemirsa menilai positif atau negatif. Memojokan yang sudah terpojok. Menginjak yang sudah terinjak.

Ada dimana aku? Akan kemana anak-anakku ? Pertanyaan bernada cemas senantiasa berkerumun dalam pikiran. Ini bukan lagi zamanku. Semuanya tak ada yang abadi. Yang abadi adalah perubahan. Sulit ditemukan remaja muda belia membantu pak tani membajak sawah. Sang muda lebih banyak berkerumun di pusat-pusat " tongkrongan ", bermain alat komunikasi, dalam dunia yang setengahnya berada di dalam khayal.

Begitu tegasnya kata kata dari sang tua yang mengharapkan anaknya sekolah hingga pintar, bisa bekerja dengan penghasilan bulanan yang lumayan sebagai pekerja " kantoran ". Sementara banyak pula yang ramai -ramai menjadi pedagang. Baik yang berdagang dengan status importir, eksportir, produsen, pemasok, distributor, retail, grosir, dan tak ketinggalan lagi .... tanpa modal alias calo.

" Sekarang ini untuk masuk sekolah dasar, anak kita sudah harus dapat membaca ...", kata seorang teman.
Kalau begitu, pengajar pada sekolah dasar tidak lagi memberi pelajaran membaca dong ... terus dia ngapain? Sudah - sudah ...memang begitu mungkin peraturannya, kata seorang teman yang lain.

Menyerah pada keadaan ? ngga juga. Mengikuti perkembangan ? mungkin ini lebih mendekati. Melihat seorang petugas kebersihan di jalan , di sekitar perumahan yang secara periodik " memungut " sampah kita. Terkesan pekerjaan yang menurut sebagian adalah hina dan kurang bermartabat, tanpa berfikir, seperti apa jadinya sampah yang kita taruh depan rumah, bila ngga ada yang " mberesin? ". Ini membuat pikiran kadang jadi picik, untung masih ada orang susah. Masih ada orang miskin, hingga kita bisa disebut orang kaya. Astagfirullah ...